ILMU (Dasar-Dasar Ilmu)

BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A.ILMU
1. Pengertian Ilmu

2. Dasar-Dasar Ilmu
Berbicara tentang dasar-dasar ilmu dalam perspektif filsafat – yang didalamnya membahas tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi – merupakan pembahasan yang panjang dan membutuhkan diskursus-diskursus yang intens, selain tentunya juga menyinggung tokoh-tokoh yang terlibat dalam pergumulan pemikiran yang telah memberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Secara garis besar, pembahasan tentang ontologi berkisar tentang sesuatu yang bersifat paling substansi dalam kacamata kefilsafatan, sehingga tak ayal bahwa ontologi sering dikatakan dengan sesuatu yang bersifat metafisis. Layaknya sebuah metodologi, maka epistemologi berkutat dalam lingkaran teori ilmu pengetahuan dan kebenaran-kebenaran yang dikandungnya. Adapun aksiologi adalah inti dari pembahasan ontologi dan epistemologi.
a. Ontologi
Ontologi adalah ilmu tentang yang ada (the science of being). Maka merupakan persoalan filsafat yang paling tua karena dalam kehidupan manusia adalah dilahirkan dan berada dalam lingkungan yang ada pada sebelumnya tanpa campur tangan sedikitpun darinya dalam pengalaman kehidupan tidak ada yang ada secara sendiri, demikian juga halnya, tidak ada yang ada secara kebetulan kerena yang ada disebut kebetulan itu pada dasarnya ada oleh karena itu tidak ada yang ada yang mengadakan berada dalam satu ada. Dengan kata lain tidak ada pencipta dan ciptaan, sebab dan akibat menyatu dalam ada satu dan berada dalam ruang dan waktu yang satu pula. Pada prinsipnya ada dua yaitu ada yang menyebabkan dan ada yang diakibatkan. Dengan demikian Ontologi merupakan hakekat apa yang dikaji.
Fungsi ontologi mencakup dalam diantaranya:
1) asumsi dalam ilmu
2) batas-batas penjelajahan ilmu
3) metafisika
4) peluang.
Ontologi merupakan salah satu di antara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan yang paling kuno. Awal mula alam pikiran Barat sudah menunjukkan munculnya perenungan di bidang ontologi. Yang tertua di antara segenap filsuf Barat yang kita kenal ialah orang yang Yunani yang bijak dan arif yang bernama Thales , atas perenungannya terhadap air yang merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. Yang penting bagi kita sesungguhnya bukanlah ajaran-ajarannya yang mengatakan bahwa air itulah asal mula segala sesuatu, melainkan pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu berasal dari satu substansi belaka.
Thales merupakan orang pertama yang mempunyai pendirian sangat berbeda di tengah-tengah pandangan umum yang berlaku saat itu. Bagi semua orang kecuali dia, waktu itu, segala sesuatu dipandang sebagaimana keadaannya yang wajar. Dalam persoalan ontologi orang menghadapi persoalan bagaimanakah kita menerangkan hakikat dari segala yang ada ini? Pertama kali orang dihadapkan pada adanya dua macam kenyataan. Yang pertama, kenyataan yang berupa materi (kebenaran) dan kedua, kenyataan yang berupa rohani (kejiwaan).
Pembicaraan tentang hakikat sangatlah luas sekali, yaitu segala yang ada dan yang mungkin ada. Hakikat adalah realitas, realita adalah ke-real-an, riil artinya kenyataan yang sebenarnya. Jadi hakikat adalah kenyataan sebenarnya sesuatu, bukan kenyataan sementara atau kenyataan yang menipu, juga bukan kenyataan yang berubah.
Kata ontologi berasal dari perkataan Yunani: on = being dan logos = logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being (teori tentang keberadaan sebagai keberadaan). Louis O. Kattsoff dalam Elements of philosophy mengatakan, ontologi itu mencari ultimate reality dan menceritakan bahwa di antara contoh pemikiran ontologi adalah pemikiran Thales, yang berpendapat bahwa airlah yang menjadi ultimate substance yang mengeluarkan semua benda. Jadi asal semua benda hanya satu saja yaitu air.
Sedangkan menurut Jujun S. Suriasumantri dalam Pengantar Ilmu dalam Perspektif mengatakan, ontologi membahas apa yang ingin kita ketahui, seberapa jauh kita tahu, atau dengan perkataan lain, suatu pengkajian mengenai teori tentang “ada”.
Sementara itu A. Dardiri dalam bukunya Humaniora, Filsafat dan Logika mengatakan, ontologi adalah menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental dan cara yang berbeda di mana entitas dari kategori-kategori yang logis yang berlainan (objek-objek fisis, hal universal, abstraksi) dapat dikatakan ada; dalam kerangka tradisonal ontology dianggap sebagai teori mengenai prinsip-prinsip umum dari hal ada, sedangkan dalam hal pemakaiannya akhir-akhir ini ontologi dipandang sebagai teori mengenai apa yang ada.
Sedangkan menurut Sidi Gazalba, ontologi mempersoalkan sifat dan keadaan terakhir dari kenyataan. Karena itu ia disebut ilmu hakikat, hakikat yang bergantung pada pengetahuan. Dalam agama ontologi memikirkan tentang agama .

Dari beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa:
1) Menurut bahasa, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu, on/ontos = ada, dan logos = ilmu. Jadi, ontologi adalah ilmu tentang yang ada.
2) Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/ konkret mapun rohani/ abstrak.
Term ontologi pertama kali diperkenalkan oleh Rudolf Goclenius pada tahun 1636 M. untuk menamai teori tentang hakikat yang ada yang bersifat metafisis. Dalam perkembangannya Cristian Wolf (1679-1754 M) membagi metafisika menjadi dua, yaitu metafisika umum dan metafisika khusus. Metafisika umum dimaksudkan sebagai istilah lain dari ontologi. Dengan demikian, metafisika umum atau ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan prinsip yang paling dasar atau paling dalam dari segala sesuatu yang ada. Sedang metafisika khusus masih dibagi lagi menjadi kosmologi, psikologi, dan teologi.
Kosmologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang alam semesta. Psikologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membicarakan tentang jiwa manusia. Teologi adalah cabang filsafat yyang secara khusus membicarakan Tuhan. Di dalam pemahaman ontologi dapat diketemukan pandangan-pandangan pokok pemikiran sebagai berikut:
1) Monoisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi maupun rohani. Tidak mungkin ada hakikat yang masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran:
a) Materialisme
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi, bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme, dimana menurut paham ini bahwa zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta. Yang ada hanyalah materi, jiwa atau ruh tidaklah merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Jiwa atau ruh itu hanyalah merupakan akibat saja dari proses gerakan dengan salah satu cara tertentu.
Aliran pemikiran ini dipelopori oleh bapak filsafat yaitu Thales (624-370 SM), yang berpendapat bahwa unsur asal adalah air, Anaximander (585-528 SM) yang berpendapat bahwa udara merupakan unsur asal dari segala kehidupan, Demokritos (460-370 SM), yang berpendapat bahwa hakikat alam ini adalah atom-atom yang jumlahnya banyak.
Alasan mengapa aliran ini berkembang sehingga memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah:
(1). Pada pikiran yang masih sederhana, apa yang kelihatan, yang dapat diraba, bisaanya dijadikan kebenaran terakhir. Pikiran sederhana tidak mampu memikirkan sesuatu di luar ruang yang abstrak.
(2). Penemuan- penemuan menunjukkan betapa bergantungnya jiwa pada badan. Oleh sebab itu, peristiwa jiwa selalu dilihat sebagai peristiwa jasmani. Jasmani lebih menonjol dalam peristiwa ini.
(3). Dalam sejarahnya, manusia memang bergantung pada benda seperti pada padi. Dewi Sri dan Tuhan muncul dari situ. Kesemuanya ini memperkuat dugaan bahwa yang merupakan hakikat adalah benda.
b) Idealisme
Aliran ini disebut juga dengan aliran spritualisme. Idealisme berarti serba cita, sdedang spritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea”, yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruangan. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.
Alasan aliran ini, yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah ruhani, spirit atau sebangsanya adalah :
(1). Nilai ruh lebih tinggi daripada badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Ruh itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya, sehingga materi hanyalah badannya, bayangannya atau penjelmaan saja.
(2). Manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya.
Materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada enegi itu. Materi bagi penganut idealisme sebenarnya tidak ada. Segala kenyataan ini termasuk kenyataan manusia adalah sebagai ruh. Ruh itu tidak hanya menguasai manusia perorangan, tetapi juga kebudayaan. Jadi kebudayaan adalah perwujudan dari alam cita-cita dan cita-cita itu adalah ruhani. Karenanya aliran ini dapat disebut idealisme dan dapat juga disebut spritualisme. Dalam perkembangannya, aliran ini ditemui pada ajaran Plato (428-348 SM) dengan teori idenya. Aristoteles (384-322 M) memberikan sifat keruhanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide itu sebagai sesuatu tenaga yang berada dalam benda-benda itu sendiri dan menjalankan pengaruhnya dari dalam benda itu. Pada filsafat modern, pandangan ini mula-mula kelihatan pada Geoge Barkeley (1685-1753 M) yang menyatakan objek-objek fisis adalah ide-ide. Kemudian Immanuel Kant (1724-1804 M), Fichte (1762-1814 M), Hegel (1770-1831 M) dan Schelling (1775-1854 M).
2) Dualisme
Aliran ini menyatakan bahwa hakikat itu ada dua. Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari dari ruh, dan ruh bukan muncul dari benda. Kedua macam hakikat ini masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Tokoh paham ini adalah Descartes (1596-1650 M) yang dianggap sebagai bapak filsafat modern. Ia menamakan kedua hakikat itu dengan istilah dunia kesadaran (ruhani) dan dunia ruang (kebendaan). Di samping Descartes, ada juga Benedictus De Spinoza (1632-1677 M) dan Gitifried Von Leibniz (1646-1716 M).
3) Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segenap macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictonary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani kuno adalah Anaxagoras dan Empodeclos yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari 4 unsur yaitu: tanah, air, api dan udara. Sedangkan tokoh modern aliran ini adalah William James (1842-1910 M).
4) Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa latin yang berarti tidak ada, sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani kuno, yaitu pada pandangan Georgias (483-360 SM) yang memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain. Tokoh aliran ini adalah Friedich Nietzsche (1844-1900 M) .
Aliran nihilis menganggap bahwa hakikat realitas trasendental hanyalah ilusi. Aliran ini pun menolak Tuhan yang mutlak, tetapi menerima berbagai variasi Tuhan kosmos. Manusia hanyalah bintik kecil dari aktivitas mekanisme dalam suatu masyarakat yang serba kebetulan. Kekuatan terletak pada kecerdikan dalam suatu masyarakat sendiri sehingga mampu melakukan yang terbaik dari tawaran yang terburuk. Idealnya, manusia mempunyai kebahagiaan yang bersifat fisik, yang merupakan titik sentral perjuangan seluruh manusia.
5) Agnostisisme
Paham ini menginginkan kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Agnosticisme berasal dari bahasa Grik, yaitu agnostos yang berarti unknown. A artinya not dan gno artinya know.
Timbulnya aliran ini dikarenakan orang belum dapat mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang bediri sendiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcenden.
Aliran ini dapat kita temui dalam filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti, Soren Kierkegaar (1813-1855 M) menyatakan bahwa manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku yang umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain. Jean Paul Sartre (1905-1980 M), Martin Heidegger (1889-1976 M) menyatakan bahwa satu-satunya yang ada itu ialah manusia, karena hanya manusialah yang dapat memahami dirinya sendiri. Jadi dunia ini adalah bagi manusia, tidak ada persoalan bagi alam metafisika. dan Karl Jaspers (1883-1969 M) yang menyangkal suatu kenyataan yang trasenden. Yang mungkin itu hanyalah manusia berusaha mengatasi dirinya sendiri dengan membawakan dirinya yang belum sadar kepada kesadaran yang sejati, namun suatu yang mutlak (transcendent) itu tidak ada sama sekali.
Jadi agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda baik materi maupun ruhani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat. Namun tampaknya agnostisisme lebih dari itu karena menyerah sama sekali.
b. Epistemologi
Epistemologi ialah filsafat yang membicarakan mengenai hakekat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha pemikiran yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu.
Epistimologi adalah cara mendapatkan pengetahuan yang benar. Pengetahuan pada hakekatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang sesuatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya ilmu, jadi ilmu bagian dari pengetahuan yang telah diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama.
Fungsi epistimologi menurut beberapa pandangan filosof diantaranya:
1) Menurut teori Plato
Epistimologi adalah pengetahuan yang berfungsi untuk mengingat kembali informasi-infortmasi yang telah lebih dulu diperoleh.
2) Menurut Descartes
Konsepsi pemikiran-pemikiran yang mirip dengan semuanya itu dan bersifat sangat jelas dalam akal manusia.
3) Menurut John Locke (David Hume)
Salah seorang empirisma lebih akurat dari pada yang lainnya di dalam menerapkan teori emperikal ia mendefinisikan bahwa kausalitas dalam artinya yang sebenarnya tidak mungkin diketahui oleh indra.
Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Kemunculan epistemologi dimulai sekitar abad ke-5 SM, di mana hal ini ditandai dengan munculnya keraguan terhadap adanya kemungkinan. Mereka yang meragukan akan kemampuan manusia mengetahui realitas adalah kaum sophis. Para sophis bertanya, seberapa jauh pengetahuan kita mengenai kodrat benar-benar merupakan kenyataan objektif? Seberapa jauh pula merupakan sumbangan subjektif manusia? Apakah kita mempunyai pengetahuan mengenai kodrat sebagaimana adanya? Sikap skeptis inilah yang mengawali munculnya epistemologi.
Abdul Razak dalam bukunya menyatakan bahwa epitemologi merupakan paduan antara kata “episteme” dengan “logos” atau “logy”. Epiteme artinya pengetahuan (knowledge/ Bahasa Inggris) dan logos artinya “teori”. Jadi, epitemologi berarti teori pengetahuan atau bisaa dikenal dengan filsafat ilmu. Lebih lanjut juga disebutkan – mengutip Anthony Flew – bahwa epitemologi adalah sebuah cabang dari filsafat yang membicarakan tentang teori ilmu pengetahuan. Tema pokok epistemologi biasanya mengenai kebisaaan dan asal terjadinya pengetahuan, lapangan dan tuntutan kebenaran pengetahuan.
Adapun Sidi Gazalba , menyatakan bahwa epistemologi adalah pengajian tentang asal, berlakunya dan hubungan pengetahuan dengan pengalaman manusia. Teori pengetahuan membicarakan segala sesuatu tentang pengetahuan. Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa sumbernya? Untuk apa pengetahuan itu? Apa gunanya? Apa nilalinya? Bagaimana membentuk pengetahuan yang tepat dan bagaimana pula membentuk pengetahuan yang benar? Apa itu kebenaran? Mungkinkah manusia mencapai pengetahuan yang benar? Apa yang dapat diketahui menusia dan sampai di mana batasannya?
Dalam sejarah pemikiran, teori pengetahuan menjadi cabang atau sistem filsafat, yang membicarakan masalah-masalah tentang asal, sifat, berlaku atau benarnya dan kondisi pengetahuan. Semua masalah itu dengan aspek-aspeknya yang beragam dapat disarikan ke dalam dua masalah pokok, masalah sumber pengetahuan dan masalah berlaku atau benarnya pengetahuan. Pemikiran tentang masalah itu disebut oleh J.F. Farier dalam bukunya sebagai epistemologi. Semenjak itu istilah ini banyak terpakai, kata itu berasal dari kata Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (pembicaraan atau ilmu). Epistemologi dipandang orang identik dengan teori pengetahuan.
Beberapa Pemikiran tentang Teori Pengetahuan
1) Francis Bacon
Filsafat bacon mempunyai peran yang amat penting dalam metode induksi dan sistematisasi produser ilmiah menurut Russel, dasar filsafatnya sepenuhnya bersifat praktis, yaitu memberi kekuasaan pada manusia atas alam melalui penyelidikan ilmiah. Bacon mengkritik filsafat Yunani yang menurutnya lebih menekankan perenungan dan akibatnya tidak mempunyai praktis bagi kehidupan manusia.
Karena itu, usaha yang ia lakukan pertama kali adalah menegaskan tujuan pengetahuan. Menurutnya, pengetahuan tidak akan mengalami perkembangan dan tidak akan bermakna kecuali ia mempunyai kekuatan yang dapat membantu manusia meraih kehidupan yang lebih baik.
2) John Locke
John Locke adalah filosof yang amat berpengaruh setelah Renaisans Eropa, menjadikan teori pengetahuan sebagai pangkal tolak dan pusat diskusi filsafatnya. Ia menganggap keliru membicarakan metafisika sebelum menyelesaikan teori pengetahuan. Ia memandang masalah-masalah epistemologi harus mendahului masalah-masalah lain.
Pemikir-pemikir Inggris setelah Locke, terutama Barkeley dan Hume, menyertai pendangan Locke. Kant, tokoh filsafat yang menonjol antara abad ke-17 sampai ke-19 mencurahkan pemikirannya yang bermutu pada teori pengetahuan dan dalam bidang itu besar pengaruhnya.
Metode dalam Teori Pengetahuan
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori penggetahuan, diantaranya adalah:
1) Metode Induktif
Induksi yatu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilmu empiris ditandai oleh metode induktif, suatu inferensi bisa disebut induktif bila bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal, seperti gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan universal.
Proses penggunaan logikanya sendiri, selain secara filosofis, minimal menggunakan tujuh elemen, yatu: sistematis, koheren, rasional, radikal, komprehensif, universal dan metodis. Juga proses penalarannya berangkat dari hal-hal yang bersifat khusus (kejadian-kejadiannya mempunyai karekteristik mirip dan seragam) dibuat generalisasi-generalisasi yang bersifat umum sehingga menghasilkan dan hukum atau teori tertentu. Dengan kata lain induksi ialah putusan-putusan khusus kepada putusan umum.
2) Metode Deduktif
Deduksi adalah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori yang lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
Proses penggunaan logikanya sendiri untuk dapat disebut sebagai berpikir secara filosofis minimal menggunakan tujuh elemen, yaitu sistematis, koheren, rasional, radikal, komprehensif, universal dan metodis.
Sedangkan Sidi Gazalba, menyatakan bahwa deduksi adalah berpikir dari soal-soal abstrak kepada yang konkret, dari kaidah umum, kita mengambil kesimpulan khusus. Atau dari putusan umum, kita membentuk putusan khusus. Hal itu berlangsung dengan menerapkan kaidah atau putusan umum itu kepada barang atau peristiwa khusus atau konkret.
3) Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh Auguste Comte (1798-1857 M). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengenyampingkan uraian/ persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dari segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4) Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda, harusnya dikembangkan suatu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi seperti yang dilakukan oleh al-Ghazali.
Al-Ghazali menerangkan bahwa pengetahuan intuisi yang atau ma’rifah yang disinarkan oleh Allah secara langsung merupakan pengetahuan yang paling benar. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini hanya bersifat individual dan tidak bisa dipergunakan untuk mencari keuntungan seperti pengetahuan yang dewasa ini bisa dikomersilkan.
Metode intiusi adalah metode kontemplasi (perenungan) yang intens dan mendalam. Dalam pendekatan (metode) intuisi orang menentukan pendapat mengenai sesuatu berdasarkan pengetahuan yang langsung atau di dapat dengan cepat melalui proses yang tak disadari atau yang dipikirkan lebih dahulu. Tetapi dalam metode ini minimal ada dua kesulitan yang dalam menyampaikan kebenaran hasil kegiatan pendekatan intuisi. Pertama, dalam keadaan yang sama dan pola tertentu, untuk dapat memperoleh intuisi telah dilakukan oleh seseorang, tetapi belum tentu intuisi itu dapat diperoleh. Oleh sebab itu, metode intuisi sulit diandalkan. Kedua, intuisi dalam keadaan tertentu memberikan informasi kebenaran, tetapi kebenarannya tidak memberikan kepastian. Oleh sebab itu, apabila seseorang telah memperoleh intuisi, seyogianya dapat segera diuji kebenarannya secara ilmiah.
Dalam peranannya sebagai penyumbang paradigma untuk memperkokoh landasan bagi peningkatan kualitas dan produktivitas keilmuwan, maka metode intuisi sangat dibutuhkan. Bahkan dalam skala maksimal, kebenanan hasil metode ini sangat membantu dalam menanggulangi dekadensi moral, dengan berbagai dampaknya yang sangat negatif.
5) Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun plato mengartikannya diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dalam kehidupan sehari-hari dialektika berarti kecakapan untuk melakukan perdebatan. Dalam teori pengetahuan ini merupakan bentuk pemikiran yang tidak tersusun dari satu pikiran tetapi pemikiran itu seperti dalam percakapan, bertolak paling kurang dua kutub.
c. Aksiologi
Aksiologi (Nilai kegunaan ilmu)
Pengetahuan indrawi dan pengetahuan rasional primer atau sekunder yang didapat mempertimbangkan prinsip-prinsip logika, adalah realitas-realitas yang sangat bernilai.
Untuk lebih mengenal tujuan ilmu atau yang biasa disebut dengan aksiologi ilmu, akan diuraikan terlebih dahulu beberapa definisi dari aksiologi, diantaranya:
1. Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi aksiologi adalah "teori tentang nilai".
2. Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.
3. Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral product, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosi-political life, yaitu kehidupan sosial politik.
Fungsi aksiologi menurut beberapa pandangan filosof diantaranya:
1) Menurut Descartes.
Ia berpikir bahwa karena gagasan-gagasan saling berlawanan maka gagasan-gagasan itu merupakan ajang kesalahan. Sementara itu, persepsi indrawi pun sering menipu kerena itu ia pun tak diperhitungkan.
2) Menurut John locke
Diturunkan dari indrawi dan pengalaman indrawi:
a) Pengetahuan intuitif (al marifah al-wijdaniyyah) yaitu pengatahuan yang dapat dicapai pikiran tanpa perlu mengakui sesuatu yang lain, seperti pengetahuan kita bahwa satu adalah separuh dua.
b) Pengetahuan reklektif yaitu pengatahuan yang tidak mungkin didapat tanpa bantuan informasi sebelumnya, seperti pengetahuan kita, bahwa jumlahnya sudut-sudut sebuah segitiga adalah sama dengan dua sudut siku-siku.
Aksiologi ialah ilmu penggetahuan yang meyelidiki hakekat nilai, pada umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan . Aksiologi diartikan juga sebagai teori nilai yang berkaiatan dengan kegunaan dari pengetahuan, termasuk pengetahuan ilmiah mempunyai tiga dasar yakni ontologi, epitemologi dan aksiologi. Untuk lebih mengenal apa yang dimaksud dengan aksiologi, di sini akan diuraikan beberapa definisi tentang aksiologi, diantaranya:
1) Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Jadi, aksiologi adalah ‘teori tentang nilai’.
2) Menurut Bramel, aksiologi terbagi dalam tiga bagian. Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yakni etika. Kedua, esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan. Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
3) Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan, aksiologi disamakan dengan value and valuation. Ada tiga bentuk value and valuation:
(a). Nilai, digunakan sebagai kata benda abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti, baik, menarik, dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mancakupi berbagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Penggunaan nilai yang lebih luas, merupakan kata benda asli untuk seluruh macam kritik atau predikat pro dan kontra, sebagai lawan dari suatu yang lain dan ia berbeda dengan fakta. Teori nilai atau aksiologi adalah bagian dari etika. Lewis menyebutkan sebagai alat untuk mencapai beberapa tujuan, sebagai nilai instrumental atau menjadi baik atau sesuatu menjadi menarik, sebagai nilai inheren atau kebaikan seperti estetis dari sebauh karya seni, sebagai nilai instrinsik atau menjadi lebih baik dalam dirinya semndiri, sebagai nilai kontributor atau nilai yang merupakan pengalaman yang memberikan kontribusi.
(b). Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya, nilai dia dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau bernilai.
(c). Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai. Menilai umumnya anonim dengan evaluasi ketika hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai perbuatan. Dewey membedakan dua hal tentang menilai, ia bisa menghargai dan mengevaluasi.
Dari definisi-definisi mengenai aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan yang utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika.
Makna ‘etika’ dipakai dalam dua bentuk arti. Pertama, etika merupakan suatu kumpulan pengetahuan mengenai penilaian terhadap perbuatan-perbuatan manusia. Seperti ungkapan ‘saya pernah belajar etika’. Arti kedua, merupakan suatu predikat yang dipakai untuk membedakan hal-hal, perbuatan-perbuatan atau manusia-manusia yang lain. Seperti ungkapan ‘ia bersifat etis atau ia seorang yang jujur atau pembunuhan merupakan sesuatu yang tidak susila’.
Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normatif, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.


B.BAHASA
C.ILMU BAHASA

BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENDAHULUAN

ILMU : Pengertian Ilmu